Dilansir dari Kompas.com, nilai tukar rupiah kembali bergerak melemah pada penutupan perdagangan Senin, 17 November 2025, dan ditutup di level Rp16.736 per dolar AS.
Tren depresiasi ini tidak hanya dipengaruhi kondisi domestik, tetapi juga tekanan eksternal yang makin dominan sepanjang November.
Tekanan Eksternal dari Kebijakan The Fed
Berdasarkan analisis pasar yang dirilis oleh Ibrahim Assuaibi, pelaku pasar uang, pelemahan rupiah terutama dipengaruhi ekspektasi bahwa Federal Reserve belum berencana melonggarkan kebijakan moneternya. Beberapa pejabat The Fed menyampaikan bahwa inflasi AS belum turun signifikan sehingga ruang penurunan suku bunga masih terbatas.
Situasi ini membuat pasar global kembali menghindari aset berisiko dan memperkuat permintaan dolar AS. Kondisi diperparah penundaan sejumlah rilis data ekonomi akibat penutupan sementara pemerintahan AS yang membuat pelaku pasar kekurangan indikator makro terbaru.
Dampak Penutupan Pemerintahan AS pada Pergerakan Pasar
Menurut laporan Bureau of Labor Statistics, penutupan pemerintahan menyebabkan tertundanya rilis payroll non-farm bulan September. Data tersebut kini dijadwalkan rilis Kamis, dan pasar menunggu arah baru terkait kondisi tenaga kerja AS.
Penundaan data menjadi alasan pasar cenderung defensif, karena ketiadaan indikator membuat spekulasi meningkat. Kondisi ini memberi dorongan terhadap penguatan dolar dan menjadi tekanan lanjutan bagi rupiah.
Ketegangan Geopolitik Menambah Volatilitas
Dikutip dari CNN International, Ukraina kembali melakukan serangan ke wilayah minyak Rusia, termasuk kilang Ryazan dan Novokuibyshevsk, serta terminal Konsorsium Pipa Kaspia (CPC). Serangan tersebut memicu kekhawatiran gangguan pasokan minyak global hingga 2 persen.
Meskipun pengisian kapal tanker di pelabuhan dilaporkan mulai kembali berjalan, pasar tetap berhati-hati karena risiko lanjutan masih cukup tinggi. Sentimen ini membuat permintaan terhadap dolar meningkat sebagai aset aman.
Sentimen Domestik: Proyeksi BI terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2026 berada di angka 5,33 persen. Angka ini sedikit lebih rendah dari target pemerintah dalam APBN 2026 sebesar 5,4 persen.
Faktor yang mempengaruhi proyeksi tersebut antara lain:
- Kebijakan moneter BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar
- Efektivitas belanja pemerintah
- Perbaikan ekosistem manufaktur dan konsumsi domestik
Namun BI tetap optimistis target APBN 2026 dapat dicapai jika realisasi anggaran berjalan lebih cepat dibanding tahun sebelumnya.
Proyeksi Inflasi 2026 dan Dampaknya ke Rupiah
BI memperkirakan inflasi 2026 berada di level 2,62 persen, masih dalam sasaran inflasi 2,5 persen plus minus 1 persen. Angka ini sedikit di atas asumsi dasar APBN 2026 yang mematok inflasi 2,5 persen.
Inflasi yang masih terjaga memberi ruang penguatan permintaan domestik, namun tekanan eksternal tetap menjadi penentu utama pergerakan rupiah jangka pendek.
Arah Pergerakan Rupiah pada Perdagangan Selanjutnya
Berdasarkan analisis pasar, rupiah diprediksi bergerak dalam rentang Rp16.730 hingga Rp16.770 per dolar AS pada perdagangan berikutnya. Volatilitas masih tinggi karena:
- Pasar menunggu pidato John Williams, Philip Jefferson, Neel Kashkari, dan Christopher Waller
- Data tenaga kerja AS segera dirilis
- Eskalasi konflik Ukraina–Rusia
- Pergerakan harga minyak dunia
Kombinasi faktor tersebut membuat rupiah masih cenderung tertekan dalam jangka pendek.
Kesimpulan
Pergerakan rupiah ke Rp16.736 per dolar AS menunjukkan tekanan eksternal masih memegang peranan penting dalam menentukan arah nilai tukar. Sentimen kebijakan The Fed, minimnya rilis data ekonomi AS, serta eskalasi konflik Ukraina–Rusia membuat pasar global cenderung berhati-hati dan memilih dolar sebagai aset aman.
Dari sisi domestik, proyeksi BI terkait pertumbuhan dan inflasi memberikan dasar optimisme, meski efektivitas belanja negara tetap menjadi kunci. Kondisi ini membuat rupiah berpotensi bergerak fluktuatif dalam jangka pendek, terutama menjelang rilis data tenaga kerja AS dan pidato pejabat The Fed.